Bab 636
Bab 636 Pecundang
“Mari kita bicarakan serah terimanya nanti. Aku harus pergi mencari istriku.”
Semua orang melihat Ardika berdiri.
Setelah meregangkan punggung, dia pun berjalan keluar.
Apa yang Ardika katakan membuat semua orang terdiam.
Ternyata dia tidak begitu menganggap serius grup seharga 10 triliun itu.
“Oh ya.”
Ardika yang
sudah sampai di pintu tiba–tiba menoleh.
Dia belum pernah melihat Rocky sebelumnya, jadi dia mengulurkan jarinya dan menunjuk orang lain dengan perlahan.
“Pecundang.
Lalu, dia melontarkan satu kata ini.
Ardika berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Suaranya pelan, tetapi terdengar sangat menusuk telinga.
Dibandingkan dengan teriakan Rocky sebelumnya yang terus memanggil Ardika pecundang.
Satu kata yang diucapkan oleh Ardika seolah semakin tak terbantahkan.
“Ah, siapa dia!? Beraninya dia memanggilku pecundang. Hak apa yang dia punya!? Hak ap
Rocky naik pitam dan raut wajahnya berubah.
Seluruh tempat dipenuhi dengan teriakan kemarahannya.
Ternyata Rocky dipanggil pecundang oleh Ardika si pecundang yang tidak perna dianggap
serius.
Perasaan tercekik yang belum pernah terjadi sebelumnya ini membuatnya ingin menangis.
“Ya karena dia bisa membayar 10 triliun.”
“Kalau punya kemampuan, belajarlah dari Tuan Muda Ardika dan keluarkan uangnya. Kalau nggak punya kemampuan ya diam saja.”
“Jangan membuat diri sendiri semakin rendah setelah kalah.”
Di tengah kerumunan, beberapa eksekutif grup berkata dengan muram.
Sebelumnya, mereka menahan amarah karena Rocky terus menyebut Keluarga Mahasura dari
ibu kota provinsi dan memaksa mereka menyerah untuk membeli Grup Hatari.
Sekarang mereka sangat senang melihat Rocky begitu tidak berdaya dan marah.
“Siapa pun yang mengatakan itu, majulah!”
Rocky berteriak dengan marah.
Tentu saja tidak ada yang maju.
Ada suara ejekan dari penonton dan mereka meninggalkan tempat tersebut.
Rocky ditinggalkan sendirian di sana dengan tidak berdaya dan marah.
“Ah, aku ingin membunuh Ardika! Aku ingin membunuh bajingan ini!”
Ardika kembali ke Paviliun Limus.
Melihat Luna mengemasi barang bawaan mereka, dia menarik kotak kecil itu keluar.
“Sayang, apa kamu benar–benar ingin pergi? Aku sudah membeli Grup Hatari
Ardika merasa cemas.
Apa yang harus Ardika lakukan tadi malam belum selesai dan dia masih ingin tinggal di sini satu malam lagi.
“Heh, kamu mengada–ada. Teruslah mengada–ada!”
Luna memutar matanya. Wajahnya yang cantik terlihat muram dan dia berjalan keluar dengan RêAd lat𝙚St chapters at Novel(D)ra/ma.Org Only
tegas.
Ardika melihat ke sekeliling.
Vania dan yang lainnya telah kembali ke rumah kecil tempat mereka tinggal dan dia tidak bisa menemukan siapa pun untuk langsung bersaksi untuknya.
“Mau pergi nggak? Kalau nggak, turun gunung saja sendiri!”
Luna menarik kopernya keluar dan melihat Ardika masih berkeliaran di sana.
Dia memelototinya dengan marah.
“Oke, aku ikut denganmu.”
Ardika tidak punya pilihan selain pergi ke tempat parkir bersamanya dan berkendara menuruni gunun
Luna mengeluarkan ponselnya dan menelepon Vania, “Kalian kembali ke perusahaan sendiri. Aku dan Ardika akan turun gunung dulu
“Bu Luna, Grup…”
Vania disela oleh Luna sebelum selesai berbicara.
“Grup Hatari dibeli oleh Keluarga Mahasura, ‘kan? Ambil saja. Itu bukanlah sesuatu kita dambakan sejak awal. Itu saja.”
yang
bisa
Dia mengakhiri panggilan.
Dalam perjalanan menuruni gunung, Luna duduk di kursi penumpang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Jelas masih merajuk
Sepanjang jalan menuruni
gunung.
Saat ini sebuah mobil di belakang terus membunyikan klakson untuk mencoba menyalip.
Ardika mengemudi lebih mantap, jadi dia mencoba yang terbaik untuk pindah.
Setelah lewat, mobil itu tiba–tiba berhenti di depan.
Mobil itu diam di pinggir jalan yang menghalangi jalan mereka.
“Apa yang terjadi?”
Luna agak gelisah.
Mobil berhenti dengan mantap, pasti bukan karena ada yang tidak beres.
Ardika menyipitkan mata dan menginjak rem untuk berhenti.
Saat ini pintu mobil di depan terbuka.
Dua orang keluar dari mobil.
Mereka membuka bagasi dan mengeluarkan tongkat bisbol sambil menatap Ardika dan Luna di dalam mobil dengan dingin.
Pada saat ini.
Mobil lain berhenti di belakang dan dua orang juga keluar.
“Ardika, kita….”
Akhirnya okenroci I una horjihah dia tahu nrano vano datano itu iahat