Bab 260
Bab 260
Entah pelet apa yang Calvin berikan kepada Maisha. Selena tidak paham, padahal jelas—jelas Maisha sudah berumur, tetapi dia masih begitu polos.
“Kenapa aku harus memberi ucapan selamat pada mereka? Agatha lah yang sudah membuatku jadi seperti sekarang. Sudah bagus aku nggak membuat perhitungan padanya, tapi sekarang aku malah harus memberinya ucapan selamat? Masuk akal dari mana semua ini?*
“Ibu juga sempat dengar beberapa cerita tentang kallan berdua. Selena, apa yang terjadi pada anakmu itu adalah sebuah kecelakaan. Agatha Juga Jatuh ke laut dan hampir saja nasibnya sama seperti kamu. Hanya saja dia sedang beruntung dan bisa melahirkan anaknya dengan selamat, kamu nggak bisa
menyalahkannya.”
Selena tahu kalau Agatha memutarbalikkan fakta di depan ibunya, mengubah hitam menjadi putih dan
menyalahkan orang lain.
Hal yang paling menyedihkan adalah Maisha percaya pada apa pun yang Agatha katakan dan malah menyalahkan Selena.
“Nyonya Maisha, apakah Anda tahu kalau ada gunung di Manado yang bernama Gunung Lor? Aku akan membelikan tiket pesawat PP ke sana, lalu begitu turun di bandara, naiklah bis bandara sampai Anda melihat sebuah patung Buddha yang besar. Begitu sampai di sana, suruh patung itu minggir supaya
Anda bisa duduk di sana.”
“Selena, Ibu dengan tulus mengundangmu buat datang ke pesta pertunangan mereka. Tapi, coba lihat sikapmu ini! Sampai hari ini, apa lagi yang belum bisa kamu relakan? Bisa nggak sih kamu nurut sama Ibu dan jadi anak yang membuat Ibumu ini tenang?”
Setiap perkataan yang Maisha ucapkan seperti menabur garam pada luka Selena. Nahasnya lagi, Maisha tidak tahu seberapa menderita Selena, tetapi dia malah terus menyiksa Selena hingga membuat dirinya makin menderita.
Agatha menang telak dalam permainan ini.
Bukan hanya memenangkan laki-laki itu, bahkan dia juga bisa membuat Ibunya berdiri di sisinya dan memihak padanya.
Selena tidak ingin menjelaskan apa pun lagi dan hanya bertanya dengan lembut, “Jawab pertanyaanku. Jika seandainya aku dan Agatha terjebak dalam situasi berbahaya secara bersamaan dan Ibu hanya
bisa menyelamatkan satu orang saja, siapa yang Ibu pilin?” “Tentu saja kamu, kamu adalah anakku. Semua yang Ibu lakukan adalah untuk kebaikanmu.”Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.
Maisha menghela napas. “Mungkin perkataan Ibu terdengar kasar bagimu. Tapi, semua yang Ibu lakukan memang benar—benar untuk kebahagiaanmu. Kamu adalah darah daging Ibu, Ibu cinta padamu.”
“Cukup sudah, aku nggak ingin berhubungan dengan Agatha lagl. Jangan harap kita bisa hidup
berdampingan dengan damai. Hubungan kita sudah ditakdirkan untuk saling menjauh dan tidak akan bertemu lagi sampal mati. Aku harap ini adalah kali terakhir aku melihat Ibu.”
“Nak, Ibu...
“Silakan pulang, Nyonya Maisha. Nggak ada hal lain yang bisa dibicarakan di antara kita berdua. Kita memiliki prinsip yang nggak sama dan nggak bisa bersatu.”
Selena tidak marah. Dia hanya menggunakan cara yang paling tenang untuk menghadapi ibunya,
Maisha melihat ekspresi wajah Selena yang kaku dan tidak ingin berbicara lagi. Dia hanya bisa menghela napas dan meninggalkan hadiah kecil yang dibawanya untuk Selena di atas meja makan.
Di dalam kotak hadiah itu, ada sebuah jam tangan berbentuk beruang kecil yang bisa digunakan untuk telepon.
Meskipun sekarang dia sudah tidak membutuhkannya lagi, tetapi 10 tahun yang lalu dia pernah meminta jam tangan ini sebagai hadiah karena telah mencapai peringkat pertama di kota pada saat ujian akhir. |bunya pun membelikan dia jam tangan telepon beruang yang paling populer saat itu.
Hari ketika nilai ujian akhirnya keluar, ibunya malah pergi dengan laki-laki lain.
Hatinya terasa campur aduk saat melihat jam tangan beruang kecil itu selama lebih dari 10 tahun lamanya. Dia mengisi daya jam tangan itu dan memakainya di pergelangan tangannya yang ramping.
Malam itu, dia seperti anak kecil yang mendapat permen. Dia terus mengelus—elus jam tangan yang dia pakai di pergelangan tangannya hingga akhirnya tertidur.
Langit sudah terang, hari baru dimulai.
Selena harus pergi ke rumah sakit pagi-pagi sekali untuk melakukan pemeriksaan rutin.
Selena melihat cuaca yang cerah di luar dan memberikan semangat pada dirinya sendiri.
Dia pasti akan sembuh.
Dia merapikan barang—barangnya dan baru saja bersiap untuk pergi ketika sebuah nomor yang familier muncul dan berkedip di layar ponselnya.
Selena terdiam. Nama “Wilson” terpampang di layar ponselnya.